Kehidupan masyarakat di Sugapa, ibukota Kabupaten Intan Jaya, provinsi Papua Tengah.

 Oleh : ( Anselmus Belau )


Intan jaya,Perilaku-Jujur.com---  Tulisan ini merupakan sebuah refleksi atas rencana pengoperasian Blok B Wabu di Intan Jaya.

“Migani bukan tanah kosong” merupakan sebuah ungkapan negasi. Jika diafirmasikan berarti tanah Migani adalah tanah milik orang Migani atau hak ulayat orang Migani. Ini menunjukkan pada suatu kepemilikan tanah dan alam oleh masyarakat adat di Papua, terutama masyarakat Migani di Intan Jaya, terhadap tanah dan manusia, karena akhir-akhir ini berkembang isu pengoperasian PT Blok B Wabu di sana.


Pernyataan ini secara tidak langsung mengungkapkan bahwa orang Migani menolak PT Blok B Wabu. Mereka menolak karena mereka khawatir tidak akan mengalami hidup sebagai pemilik ulayat di tanah leluhurnya jika perusahaan beroperasi.


Kekhawatiran ini berangkat dari pengalaman pemilik ulayat Gunung Nemangkawi, yaitu, masyarakat adat Amungme dan Kamoro di Timika, yang terkena dampak operasi tambang PT Freeport. Itulah sebabnya orang Migani bersikukuh menolak PT Blok B Wabu di Intan Jaya.

Orang Migani ada

Orang Migani adalah salah satu suku bangsa di Papua yang mendiami wilayah Intan Jaya. Yang mencakup Dogandoga, Kemandoga, dan Mbiandoga. Mereka hidup di daerah perbukitan yang menjulang tinggi dan diapit oleh pegunungan yang tinggi pula. Di sini jelas bahwa permukiman masyarakat berada di pinggiran gunung dan bukit, sehingga mereka mengolah tanah untuk pertanian di lereng-lereng gunung (Belau, Yeskiel. 2022: 25-28).


Dengan kondisi geografis seperti ini, maka kondisi orang Migani sangat memprihatinkan jika rencana pengoperasian Blok Wabu terwujud. Maka negara perlu mempertimbangkan kehidupan orang Migani yang mendiami Intan Jaya itu.


Menurut cerita leluhurnya, orang Migani sudah ada sejak dunia dijadikan. Mereka hidup dan memiliki sejarahnya sendiri. Mereka bahkan tidak pernah bermimpi untuk menghadirkan perusahaan tanah leluhurnya.


Hidup dan keberadaan mereka tergantung pada alam, sesama dan leluhurnya. Oleh sebab itu, mereka tidak membutuhkan kehadiran perusahaan, bahkan tidak membutuhkan kehadiran penduduk dari luar Migani yang membuat kelangsungan hidup mereka terancam.


Orang Migani juga mendiami dan menguasai wilayah Intan Jaya. Mereka mewarisi adat dan budaya leluhur secara turun-temurun. Negara, perusahan, bahkan penduduk dari luar Migani harus mengakui keberadaan mereka. Jangan ada niat untuk menghancurkan kehidupan mereka, baik dengan sengaja, maupun tidak sengaja memindahkan, mengubah atau bahkan menghilangkan posisi, status dan hak mereka, termasuk hak atas tanah yang mereka hidupi dan kekayaan alam yang ada di sana (Katamap, 2013: 4).


Puncak Cartenz, salah satu obyek wisata andalan Kabupaten Intan Jaya. – Jubi/IST


Situasi sosial orang Migani


Orang Migani hidup dalam suatu persatuan dari beberapa suku dan marga. Relasi sosial mereka terjaga baik, sekalipun sering dalam dinamika kehidupan terjadi konflik antaramarga dan suku.


Sebagai orang Migani yang hidup di suatu daerah, konflik antarmereka menjadi hal yang biasa. Konflik itu pun tidak berlangsung lama karena tidak ada dendam di antara mereka. Malahan mereka menjaga relasi sosial dengan aman. Karena damai dan sejahtera merupakan harapan dan impian manusia, termasuk orang Migani.


Relasi baik yang dibangun selama ini akan menjadi jurang pemisah antarsesama juga jika perusahaan akan beroperasi. Hampir pasti ada yang mengungsi ke kota-kota terdekat atau mati karena limbah perusahaan. Hal ini jelas, karena letak geografis Intan Jaya juga sangat tidak memungkinkan bagi perusahaan untuk beroperasi di sana.

Hubungan orang Migani dengan alam

Sebelum mengenal dan mendapat pengaruh dari luar, setiap kelompok hidup dengan rukun dan damai dalam suatu wilayah teritorial tertentu. Mereka menguasai, memiliki, dan mengolah sumber daya alam secara teratur.


Keteraturan sosial ini dikendalikan melalui bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, serta nilai-nilai kearifan lokal. Sehingga tanah dan segala sumber daya alam yang ada merupakan satu kesatuan hidup, karena dengan demikian mereka mampu mengekspresikan diri dan menunjukkan eksistensinya bahwa mereka berbeda dari kelompok sosial yang lain (Katamap. hlm 4).


Sehingga seluruh hidup orang Papua sangat bergantung pada alam, dan menganggap alam sebagai mama yang memberikan kehidupan. Karena di atas tanah, mereka bisa tanam ubi, singkong, keladi, dan sayur-mayur dan ditumbuhsuburkan oleh tanah itu sendiri. Mereka bisa berburu dan meramu untuk memenuhi kebutuhan harian, demi mempertahankan kehidupan yang dihidupi di hutan-hutan, dusun-dusun, dan sekitar sungai-sungai (SKPKC, 2018: 60).


Tempat-tempat yang memungkinkan mereka mencari nafkah ini adalah bagian dari kehidupannya, sehingga mereka juga sangat menghormati alam dengan cara memelihara dan menjaganya dengan baik, seperti mereka mencintai mama.


Dengan demikian, orang Migani juga menganggap tanah mereka sebagai mama yang memberikan kehidupan. Tanah adalah bagian dari keluarga yang tidak jauh dari kehidupan mereka. Karena dari hutan mereka bisa mendapat kayu bakar, papan dan balok untuk bangun rumah, oksigen dan hasil fotosintesis dan kebutuhan lainnya.


Lalu dari sungai mereka bisa minum air bersih, mencuci, mandi, dan lain sebagainya. Jika perusahaan beroperasi, maka hal itu merupakan awal dan akhir dari kehidupan orang Migani yang tersisa.

Artinya, ketergantungan hidup orang Migani terhadap alam tersebut jika digunakan untuk beroperasinya perusahaan tambang, maka manusia dan kehidupannya hilang dari tanah leluhurnya. Oleh karena itu, orang Migani menolak kehadiran perusahaan, baik berskala besar, maupun perusahaan kecil, untuk beroperasi di Intan Jaya.

Orang Migani tidak hidup jauh dari alam. Gunung yang hendak dioperasi adalah tempat mereka mencari makanan, tempat perlindungan, bangun rumah, dan tempat menunjukkan keberadaan mereka. Orang Migani tidak punya alam lain, selain tanah warisan leluhurnya itu.

Pengaruh Blok B Wabu terhadap orang Migani

Dengan letak geografis yang diapiti gunung dan bukit, kehidupan orang Migani akan punah seiring dengan kehadiran perusahaan besar seperti Blok Wabu. Kita belajar dari contoh kasus kehidupan suku-suku tetangga seperti masyarakat adat Amungme dan Kamoro di Mimika, yang terancam limbah PT Freeport.


Menurut berita yang berkembang PT Blok B Wabu adalah bagian dari Blok A di Tembagapura, dari PT Freeport. Maka jelas bahwa dampaknya sangat memprihatinkan kehidupan dan eksistensi orang Migani di Intan Jaya.


Kedua suku di Mimika tersebut masih ada harapan untuk hidup lebih lama dengan tahan uji dari limbah, sekalipun barangkali ada ratusan bahkan ribuan jiwa yang  telah menjadi korban.


Berbeda dengan orang Migani. Orang-orang Migani diperkirakan hanya hidup tiga atau empat tahun akibat limbah perusahaan jika PT Blok B Wabu beroeperasi. Sebab sungai-sungai di sana mengalir dari kawasan dimana Blok Wabu beroperasi.


Dengan demikian, segala bentuk pengoerasi Blok Wabu di Intan Jaya mesti ditolak. Orang Migani masih ingin hidup lebih lama dan menyaksikan kehidupan anak-anak cucu mereka.


Tanah Migani bukanlah tanah kosong. Tanah Migani adalah warisan leluhur yang dijaga, dipelihara dan sumber daya alamnya diolah secara turun-temurun, sesuai dengan sistem tata sosial yang berlaku. Alam dan manusia adalah satu kesatuan yang saling menghidupi, karena melalui alam, orang Migani dapat mengekspresikan diri dan menunjukkan eksistensinya. (*)


Penulis : Adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur Abepura Jayapura (www//Suara papua/Jubi.co.id-PJ.its)






Lebih baru Lebih lama